Latest News


More

I t s a r

Posted by : admin on : Friday, December 16, 2011 0 comments
admin
Saved under : ,



Darah terus mengalir deras di Yarmuk. Terjadi perang besar antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin tak terhindarkan lagi. Beberapa orang dari kum muslimin telah banyak yang terluka dan syahid.

Hudzaifah Al Adawi tak mampu menahan gejolak. Beliau menghamburkan diri ke medan jihad. Sebekum pedangnya diayunkan untuk menebas musuh-musuh Allah, Hudzaifah terlebih dahulu mengusung sebuah bejana yang berisi penuh air untuk membantu mengatasi kehausan prajurit Allah yang terluka.

Hudzaifah sambil mengawasi musuh, dengan bejananya menghampiri mujahid yang terluka untuk memberikan tetesan air. Tapi, mujahid itu menepiskan bejana air itu karena terdengar erangan memilukan diantara dentingan pedang yang beradu. Mujahid itu berkata “Bawalah air padanya. Aku tidaklah lebih mulia dari jiwa siapapun yang berjuang di jalan Allah”.

Hudzaifah menghampiri suara erangan tadi, ternyata Hisyam bin Al Ash. “Semoga Allah merahmati engkau, ya Hudzaifah,” sambutnya. Hudzaifah belum sempat mengangkat bejananya, Hisyam sudah menunjukkannya kepada salah seorang yang juga terluka. “Bawakan air itu padanya. Ia lebih membutuhkannya daripada aku,” pintanya.

Hudzaifah menuju orang yang terluka tadi. Tapi terlambat, ia telah dahulu syahid. Dengan sigap ia melompat menuju Hisyam bin Al Ash, tapi ternyata telah syahid juga. Begitu pula ketika ia sampai kepada orang yang pertama ditolongnya, ternyata telah berangkat keharibaan Ilahi.

Saat ini, keberanian Hudzifah dan kesediaan beberapa mujahid yang sekarat untuk mendahulukan keselamatan saudaranya seperti kasun asing. Kalaupun ada keberanian, itu biasanya muncul dari kekuatan yang bersumber dari pamrih duniawi.

Keberanian dan kepedulian seorang muslim terhadap saudaranya dalam perang Yarmuk, bukanlah sesuatu yang bersifat kecenderungan manusiawi semata. Dalam artian, kebaikan dan rasa pengorbanan yang mereka tunjukkan jelas berasal dari penyerahan dan pengamalan sungguh-sungguh terhadap Al Islam secara benar. Mereka meyakini kebenaran wahyu dengan pembenaran dalam hati dan melaksanakannya semaksimal mungkin dalam kehidupan nyata.

Persoalannya sekarang, pedulikah kita dengan cara dan sikap hidup seperti itu? Jika rasa kepedulian kita terusik, mampukah menunjukkannya dalam setiap persinggungan dengan seluruh piranti masyarakat dalam keadaan apapun?

Kemudian, meski kita mampu berbuat baik dan berkorban untuk sesama manusia, adalah bagaimana pekerjaan tersebut disamping bernilai baik disisi manusia tapi juga juga mulia disisi Allah, ada beberapa pijakan yang sering terlupaka;

Pertama, kita harus mengolah kepribadian agar dalam berbuat baik berdasarkan kebenaran iman. Segala bentuk pengorbanan seharusnya lahir dari i’tikad bahwa Allah menyuruh dan mengawasi segala perbuatan kita.

Kedua, berbuat baik dan bersedia berkorban dengan ketulusan niat hanya karena Allah. Hal ini menjadi sangat perlu dalam zaman kini. Karena banyak perbuatan baik menjadi sebuah kemasan tanpa perlu lagi melihat niat dari perbuatan itu. Banyak peristiwa pengorbanan yang dilakukan baik perorangan atau kolektif tiba-tiba menjadi sekedar sebuah peristiwa yang sengaja dikemas menjadi kepentingan-kepentingan sosial saja.

Ketiga, sikap ini harus lahir dari kesucian diri. Pijakan terakhir ini merupakan satu sendi yang kuat dalam perwujudan kebaikan bagi umat manusia. Apa arti sebuah pengorbanan kalau ia bersumber dari sumber yang sebenarnya Allah tidak menyukainya. Wallahu a’lam bish shawwab. [ar]

No comments :

Leave a Reply